Bismillah Assalamu Alaikum
Umat Islam di Myanmar memang tidak banyak. Tak lebih dari 5 persen di antara jumlah penduduk di negara itu. Kali ini, kaum muslim Myanmar merayakan Idul Adha bersamaan dengan pelaksanaan Idul Kurban versi pemerintah di Indonesia. Biasanya, hari raya Idul Adha maupun Idul Fitri di Myanmar sehari lebih lambat dari Indonesia.
Karena umat Islam merupakan minoritas, pemerintah Myanmar tidak menetapkan Idul Adha sebagai hari libur nasional. Namun, warga muslim yang bekerja diberi hak libur. Berbeda dari Idul Fitri, umat Islam justru tidak libur bekerja. Setelah salat Idul Fitri, mereka langsung bekerja. “Sebab, saat Idul Adha, kami butuh waktu untuk menyembelih dan membagikan daging kurban,” kata Muhammad Hasyim, warga muslim yang tinggal di Jalan Yetwingone, Mingalar Taung Nyunt, Yangon.
Hasyim dan keluarganya kemarin melaksanakan salat Idul Adha di Masjid M.M. Raunnaq yang tak jauh dari rumahnya. Salat Idul Adha di tempat tersebut dimulai pukul 07.00 waktu setempat. “Di sini, Idul Adha justru terasa lebih ramai dibanding Idul Fitri,” kata pemilik nama asli Myin Aung itu. Sejak malam Idul Adha, warga muslim melaksanakan takbiran di masjid-masjid. Tidak ada takbiran keliling seperti di Indonesia. Sebagian besar masjid juga tidak menggunakan pengeras suara saat melakukan takbir.
Warga negara Indonesia (WNI) melaksanakan salat Idul Adha di halaman Sekolah Internasional Indonesia di Yangon (Indonesian International School of Yangon/IISY). Salat Idul Adha itu diikuti sekitar 100 WNI dengan imam H Maulana Quari Hafiz Muhammad Yunus, ustad Masjid Al Mush”ab (masjid milik KBRI Yangon). Yang bertindak sebagai khotib adalah T.B. Ade Rahmatullah.
Selain mengadakan salat Idul Adha dan pemotongan hewan kurban, KBRI menggalang dana untuk korban bencana banjir di Wasior, letusan Gunung Merapi, dan tsunami di Mentawai. Di Myanmar, lebih banyak warga muslim yang berkurban sapi daripada kambing, termasuk di KBRI Yangon kemarin. Hewan kurban yang disembelih terdiri atas sembilan ekor sapi dan dua ekor kambing. Harga sapi di Myanmar lebih murah daripada di Indonesia. Harga sapi Myanmar yang cukup besar sekitar Rp 5 juta.
Dengan ukuran sapi yang sama, di Indonesia harganya bisa mencapai Rp 9 juta. Bila seekor sapi ditanggung tujuh orang, berarti setiap orang hanya perlu iuran Rp 700 ribuan.
Itu harga sapi di Yangon. Bila mau mencari sapi ke desa-desa, harganya lebih murah, bisa hanya Rp 3,5 juta. “Sebab, konsumsi daging sapi di Myanmar tidak banyak. Sebagian warga Buddha tidak mengonsumsi daging sapi,” jelas Atase Pertahanan KBRI Yangon, Dedi Priatna Ariestiadi. Sementara itu, harga kambing justru lebih mahal dibanding di Indonesia. Harga seekor kambing berukuran sedang di Myanmar mencapai Rp 1,2 juta. Di Indonesia, harga kambing dengan ukuran yang sama hanya Rp 700 ribu”Rp 800 ribu.
Daging-daging kurban milik para WNI dibagikan kepada warga di perkampungan muslim, panti jompo, serta warga tidak mampu di Yangon. Untuk panti jompo dan warga tidak mampu, daging dibagikan dalam kemasan plastik setelah ditimbang. Namun, untuk warga di perkampungan muslim, daging kurban diserahkan kepada pesantren atau madrasah setelah disembelih dan dikuliti. Nanti pesantren atau madrasah membagikannya kepada warga sekitar.
Salah satu pesantren yang dikirimi daging kurban oleh KBRI adalah Jamia Arabic Furqania Darul Ulum di Jalan Aung Mingalar, Yangon. Pesantren tersebut berdiri di kawasan perkampungan muslim. Sebagian adalah warga keturunan India dan Pakistan. Pesantren tersebut tidak memotong hewan kurban. Mereka hanya menerima seekor sapi utuh yang sudah disembelih dan dikuliti pihak KBRI. “Nanti kami bagikan untuk warga di sekitar pesantren kami. Kami sangat berterima kasih,” ungkap Ismail Baggia, pengasuh pesantren tersebut.
Dia menyatakan, pesantrennya dihuni 150 santri. Namun, saat Idul Adha, sebagian besar di antara mereka pulang ke rumah masing-masing. Hanya beberapa santri yang tinggal. “Mereka besok sudah masuk kembali,” ujar pria 93 tahun itu.
Di sejumlah masjid di Yangon, terlihat antrean pembagian daging kurban. Metode pembagiannya sama dengan di Indonesia. Sehari sebelumnya, masjid membagikan kupon kepada warga tidak mampu. Kupon itu digunakan untuk mengambil jatah daging kurban di masjid.
Misalnya, yang terlihat di masjid kawasan Tarmway, warga mengantre sejak pukul 10.00. Padahal daging kurban baru siap dibagikan pukul 12.30. Saat Jawa Pos melihat pembagian daging kurban di tempat tersebut, ada sekitar 300 warga yang sedang mengantre. Menariknya, antrean untuk laki-laki dan perempuan dipisah. “Mereka kan bukan muhrim, jadi tidak boleh jadi satu antaranya,” tegas Thin Nyunt, salah seorang pengurus masjid di Tarmway.
Umat Islam di Myanmar memang tidak banyak. Tak lebih dari 5 persen di antara jumlah penduduk di negara itu. Kali ini, kaum muslim Myanmar merayakan Idul Adha bersamaan dengan pelaksanaan Idul Kurban versi pemerintah di Indonesia. Biasanya, hari raya Idul Adha maupun Idul Fitri di Myanmar sehari lebih lambat dari Indonesia.
Karena umat Islam merupakan minoritas, pemerintah Myanmar tidak menetapkan Idul Adha sebagai hari libur nasional. Namun, warga muslim yang bekerja diberi hak libur. Berbeda dari Idul Fitri, umat Islam justru tidak libur bekerja. Setelah salat Idul Fitri, mereka langsung bekerja. “Sebab, saat Idul Adha, kami butuh waktu untuk menyembelih dan membagikan daging kurban,” kata Muhammad Hasyim, warga muslim yang tinggal di Jalan Yetwingone, Mingalar Taung Nyunt, Yangon.
Hasyim dan keluarganya kemarin melaksanakan salat Idul Adha di Masjid M.M. Raunnaq yang tak jauh dari rumahnya. Salat Idul Adha di tempat tersebut dimulai pukul 07.00 waktu setempat. “Di sini, Idul Adha justru terasa lebih ramai dibanding Idul Fitri,” kata pemilik nama asli Myin Aung itu. Sejak malam Idul Adha, warga muslim melaksanakan takbiran di masjid-masjid. Tidak ada takbiran keliling seperti di Indonesia. Sebagian besar masjid juga tidak menggunakan pengeras suara saat melakukan takbir.
Warga negara Indonesia (WNI) melaksanakan salat Idul Adha di halaman Sekolah Internasional Indonesia di Yangon (Indonesian International School of Yangon/IISY). Salat Idul Adha itu diikuti sekitar 100 WNI dengan imam H Maulana Quari Hafiz Muhammad Yunus, ustad Masjid Al Mush”ab (masjid milik KBRI Yangon). Yang bertindak sebagai khotib adalah T.B. Ade Rahmatullah.
Selain mengadakan salat Idul Adha dan pemotongan hewan kurban, KBRI menggalang dana untuk korban bencana banjir di Wasior, letusan Gunung Merapi, dan tsunami di Mentawai. Di Myanmar, lebih banyak warga muslim yang berkurban sapi daripada kambing, termasuk di KBRI Yangon kemarin. Hewan kurban yang disembelih terdiri atas sembilan ekor sapi dan dua ekor kambing. Harga sapi di Myanmar lebih murah daripada di Indonesia. Harga sapi Myanmar yang cukup besar sekitar Rp 5 juta.
Dengan ukuran sapi yang sama, di Indonesia harganya bisa mencapai Rp 9 juta. Bila seekor sapi ditanggung tujuh orang, berarti setiap orang hanya perlu iuran Rp 700 ribuan.
Itu harga sapi di Yangon. Bila mau mencari sapi ke desa-desa, harganya lebih murah, bisa hanya Rp 3,5 juta. “Sebab, konsumsi daging sapi di Myanmar tidak banyak. Sebagian warga Buddha tidak mengonsumsi daging sapi,” jelas Atase Pertahanan KBRI Yangon, Dedi Priatna Ariestiadi. Sementara itu, harga kambing justru lebih mahal dibanding di Indonesia. Harga seekor kambing berukuran sedang di Myanmar mencapai Rp 1,2 juta. Di Indonesia, harga kambing dengan ukuran yang sama hanya Rp 700 ribu”Rp 800 ribu.
Daging-daging kurban milik para WNI dibagikan kepada warga di perkampungan muslim, panti jompo, serta warga tidak mampu di Yangon. Untuk panti jompo dan warga tidak mampu, daging dibagikan dalam kemasan plastik setelah ditimbang. Namun, untuk warga di perkampungan muslim, daging kurban diserahkan kepada pesantren atau madrasah setelah disembelih dan dikuliti. Nanti pesantren atau madrasah membagikannya kepada warga sekitar.
Salah satu pesantren yang dikirimi daging kurban oleh KBRI adalah Jamia Arabic Furqania Darul Ulum di Jalan Aung Mingalar, Yangon. Pesantren tersebut berdiri di kawasan perkampungan muslim. Sebagian adalah warga keturunan India dan Pakistan. Pesantren tersebut tidak memotong hewan kurban. Mereka hanya menerima seekor sapi utuh yang sudah disembelih dan dikuliti pihak KBRI. “Nanti kami bagikan untuk warga di sekitar pesantren kami. Kami sangat berterima kasih,” ungkap Ismail Baggia, pengasuh pesantren tersebut.
Dia menyatakan, pesantrennya dihuni 150 santri. Namun, saat Idul Adha, sebagian besar di antara mereka pulang ke rumah masing-masing. Hanya beberapa santri yang tinggal. “Mereka besok sudah masuk kembali,” ujar pria 93 tahun itu.
Di sejumlah masjid di Yangon, terlihat antrean pembagian daging kurban. Metode pembagiannya sama dengan di Indonesia. Sehari sebelumnya, masjid membagikan kupon kepada warga tidak mampu. Kupon itu digunakan untuk mengambil jatah daging kurban di masjid.
Misalnya, yang terlihat di masjid kawasan Tarmway, warga mengantre sejak pukul 10.00. Padahal daging kurban baru siap dibagikan pukul 12.30. Saat Jawa Pos melihat pembagian daging kurban di tempat tersebut, ada sekitar 300 warga yang sedang mengantre. Menariknya, antrean untuk laki-laki dan perempuan dipisah. “Mereka kan bukan muhrim, jadi tidak boleh jadi satu antaranya,” tegas Thin Nyunt, salah seorang pengurus masjid di Tarmway.